Suatu hari, saat aku sedang membereskan dan membersihkan rak sepatu di rumah, aku menyadari ada sebuah sepatuku yang tak ada pasangannya. Padahal itu termasuk salah satu sepatu kesayanganku. Aku mencari-cari ke semua sudut lemari, tetapi pasangan dari sepatu yang masih bagus, utuh dan cukup cantik itu tetap tidak kutemukan. Mungkin ia terselip entah ke mana, lalu terbuang secara tak sengaja. Maklum teman-temannya sesama sepatu yang jumlahnya banyak itu berebut tempat dalam lemari. Aku merasa sayang sekali. Betapapun utuh, cantik, mahal, dan bagusnya sebuah sepatu, kalau pasangannya tidak ada, maka ia tidak berguna, hanya bisa dibuang ke tempat sampah karena fungsinya sebagai alas kaki sudah lenyap.Aku mencari-cari ide apa yang bisa dimanfaatkan dari sepatu yang tinggal sebelah itu ya? Sayang banget karena masih bagus sekali, rasanya dibuat jadi hiasan pun tidak sesuai. Sepatu menurut fungsinya harus selalu sepasang, tidak bisa hanya sebuah.
Lalu sebuah pikiran yang menggelitik menyadarkan aku akan kehidupan kerohanian dan kemasyarakatan yang kulakukan selama ini. Terlibat dengan banyak pihak di Gereja, mengerjakan berbagai voluntary work untuk kegiatan rohani dan sosial secara online, terlibat dalam gerakan pro-life activity, mengajar Sekolah Minggu, membantu kepengurusan komunitas Indonesia Katolik di kota aku tinggal saat ini, menyumbang secara rutin kepada anak asuh dan kaum miskin papa. Dari luar, semua itu tampaknya mulia dan indah. Tetapi kalau diteliti sampai ke dalam, apakah motivasiku melakukan semua perbuatan mulia itu? Kulakukan semata-mata untuk membalas cinta kasih Tuhan kepadaku ? Atau jangan-jangan hanya sebuah pelarian, sebuah kedok cantik untuk menutupi kekurangan-kekuranganku, atau justru sarana yang kuanggap efektif untuk mencari pujian dan kemuliaan diriku sendiri dari orang-orang di sekitarku? Aku menelan ludah…..glekk….
Aku bangkit berdiri sambil membawa sepatu tanpa pasangan itu dalam genggamanku. Saat itulah aku menyadari, bahwa seindah dan semulia apapun perbuatan yang kulakukan dengan hidupku di dunia ini, bila aku melakukannya tanpa Yesus di hatiku, tanpa hikmat keteladananNya, pengorbananNya, dan kerendahan hatiNya menjiwai latar belakang sepak terjangku, maka semua perbuatan indahku itu hanya akan sama saja dengan sepatu yang tidak ada pasangannya itu. Elok, utuh, mahal, dan masih berfungsi penuh. Tapi tidak ada pasangannya. Yah, mau diapakan lagi kalau tidak terus dilempar ke tempat sampah. Tanpa Yesus sebagai pasanganku, maka hidup dan pelayananku tidak banyak artinya lagi, bahkan mungkin hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan sumber keluh kesah orang-orang terdekat. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Korintus 13 : 3). Kasih itu adalah Dia, Tuhan Yesus Sang Putera Allah, yang kulayani, yang telah datang ke dunia untuk menyelamatkan dunia ini dari cengkeraman maut dan menyiraminya dengan kasih yang sejati. Kasih tanpa syarat.
Ingatanku melayang kepada pengalaman penyelenggaraan suatu acara kerohanian di Gereja yang kuketahui atau kudengar dari sesama. Atau dalam suatu susunan organisasi dan kelompok kategorial di Gereja. Walaupun tidak sering, kegiatan dan aktivitas untuk Tuhan dan GerejaNya kadang tak luput dari sikap-sikap ingin menang sendiri, memaksakan kehendak, kesombongan rohani, gerutu dan gosip kepada sesama umat beriman. Bahkan sampai pada “perebutan” posisi dan jabatan tertentu yang dianggap jabatan kehormatan. Hatiku hanya mampu bertanya dalam keprihatinan, di manakah Yesus yang sedang kita semua layani ? Apakah kita sedang benar benar melayani kebutuhanNya ataukah kita sedang sibuk melayani kebutuhan-kebutuhan kita sendiri untuk tampil dan dihormati? Ke manakah teladan agungNya akan kasih tanpa pamrih dan kerendahan hati menguap dalam hiruk pikuk ego dan kesombongan manusiawi yang tidak dikendalikan?
Aku pun teringat akan anak-anak dan suami seorang teman yang protes karena sang ibu (dan sekaligus istri) sangat aktif di kegiatan Gereja sehingga mereka kadang merasa ditelantarkan. Bagaimanapun juga, melayani keluarga sesungguhnya adalah melayani Tuhan sendiri, sehingga selayaknya tugas dan perhatian untuk keluarga diprioritaskan oleh seorang ibu rumah tangga, sebelum banyak terjun ke pelayanan di Gereja. Memang hal ini sungguh memerlukan sikap batin yang terus menerus terarah kepada suara Tuhan. Supaya aku mampu memutuskan yang terbaik dan memprioritaskan apa yang menjadi tugas panggilanku yang terutama dari Tuhan. Keluarga adalah tugas dan ladang pelayanan yang pertama dan utama.
Demikianlah pilar terpenting pelayanan yang justru amat mudah terlupakan, ketika aku telah terbuai oleh rasa puas diri dan perasaan telah berbuat banyak bagi GerejaNya. Aku perlu sesekali berhenti sejenak dan bertanya, apakah aku telah cukup merenungkan apa yang sebenarnya Dia harapkan dan Dia butuhkan dari dan bagiku? Apakah aku sudah sungguh-sungguh mengenal Yesus dan semua aspirasiNya, melaksanakan kehendakNya dan mengesampingkan pertimbangan-pertimbanganku sendiri demi mengutamakan Dia, sehingga seluruh hidupku sudah menceritakan tentang kasihNya?
Pertimbangan dan keputusan manusiawi sangat rawan terhadap keadaan emosi yang dinamis di dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Misalnya kebiasaan menghakimi dan memberi label pada sesama, iri hati dan kedengkian yang sesungguhnya berakar dari kesombongan, atau penilaian-penilaian sempit dan sepihak lainnya, yang dipengaruhi dinamika relasi dengan sesama dan latar belakang pengalaman kehidupan.Tetapi hidup dan bekerja untuk Tuhan adalah hidup oleh dan karena kasih. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh (Galatia 5 : 25). Dan buah-buah Roh Kudus itu sangat jelas, pemeriksaan diri dan pemeriksaan motivasiku dalam melayani Dia dan sesama harus selalu diletakkan dalam terang buah-buah kekudusanNya itu. Aku akan segera tahu apakah aku masih berada di dalamNya atau sudah di luar dan hanya menuruti pertimbanganku sendiri, berdasarkan ini: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu (Galatia 5 : 22-23). Dan ketika buah-buah itu ada padaku, aku harus memastikan bahwa semua itu bukan hasil usahaku, dan hanya akan terus mampu untuk menjadi sikap dasarku, bila aku melibatkan Dia, Sang Putera, yang telah diutus Bapa untuk selalu bersama kita, dan memimpin kita dengan seluruh hikmatNya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita (1 Yohanes 4 : 10).
Masih pula segar dalam ingatanku sebuah kisah seorang aktivis Gereja yang menemukan kekosongan dan perasaan jauh dari Tuhan. Karena begitu sibuk dalam pelayanan, kita sering menjadi lupa atau tak punya waktu lagi untuk diluangkan menjadi saat-saat pribadi dan intim buat bersama-sama dengan Tuhan dalam doa dan keheningan yang dipersembahkan khusus untukNya. Justru itulah sumber kekuatan yang sejati yang akan menggerakkan semua sepak terjang kita sesuai dengan kehendakNya. Waktu-waktu khusus, teratur, dan spesial, yang kusediakan bersama Tuhan dan untuk Tuhan, selayaknya menjadi kekuatan utama pelayananku. Bagaikan seorang sahabat yang kita ingin selalu berkontak dan sering-sering berhubungan karena kita sayang dan rindu, demikian juga frekuensi untuk selalu berusaha berjumpa dan berelasi dengan Dia melalui doa dan merenungkan FirmanNya adalah cermin seberapa penting dan berhargaNya Dia bagi seluruh gerak hidupku
Aku meletakkan sepatu kesayanganku yang tinggal sebelah itu di tempat di mana aku masih bisa melihatnya setiap saat. Hmm..untung masih ada gunanya juga ia, yaitu membantuku berefleksi. Aku memandanginya sambil membisikkan doa di dalam hatiku, “Yesus, aku tidak berarti apa-apa tanpa Engkau. Berjalanlah selalu di sisiku, jadi pemandu perjalanan budi pekertiku, penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama Engkau dan oleh karena Engkau, hidup dan pelayananku akan punya arti dan dapat berguna bagi kemuliaan KerajaanMu di dunia. Amin”. (uti)
Source. katolisitas.org
Lalu sebuah pikiran yang menggelitik menyadarkan aku akan kehidupan kerohanian dan kemasyarakatan yang kulakukan selama ini. Terlibat dengan banyak pihak di Gereja, mengerjakan berbagai voluntary work untuk kegiatan rohani dan sosial secara online, terlibat dalam gerakan pro-life activity, mengajar Sekolah Minggu, membantu kepengurusan komunitas Indonesia Katolik di kota aku tinggal saat ini, menyumbang secara rutin kepada anak asuh dan kaum miskin papa. Dari luar, semua itu tampaknya mulia dan indah. Tetapi kalau diteliti sampai ke dalam, apakah motivasiku melakukan semua perbuatan mulia itu? Kulakukan semata-mata untuk membalas cinta kasih Tuhan kepadaku ? Atau jangan-jangan hanya sebuah pelarian, sebuah kedok cantik untuk menutupi kekurangan-kekuranganku, atau justru sarana yang kuanggap efektif untuk mencari pujian dan kemuliaan diriku sendiri dari orang-orang di sekitarku? Aku menelan ludah…..glekk….
Aku bangkit berdiri sambil membawa sepatu tanpa pasangan itu dalam genggamanku. Saat itulah aku menyadari, bahwa seindah dan semulia apapun perbuatan yang kulakukan dengan hidupku di dunia ini, bila aku melakukannya tanpa Yesus di hatiku, tanpa hikmat keteladananNya, pengorbananNya, dan kerendahan hatiNya menjiwai latar belakang sepak terjangku, maka semua perbuatan indahku itu hanya akan sama saja dengan sepatu yang tidak ada pasangannya itu. Elok, utuh, mahal, dan masih berfungsi penuh. Tapi tidak ada pasangannya. Yah, mau diapakan lagi kalau tidak terus dilempar ke tempat sampah. Tanpa Yesus sebagai pasanganku, maka hidup dan pelayananku tidak banyak artinya lagi, bahkan mungkin hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang lain, dan sumber keluh kesah orang-orang terdekat. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Korintus 13 : 3). Kasih itu adalah Dia, Tuhan Yesus Sang Putera Allah, yang kulayani, yang telah datang ke dunia untuk menyelamatkan dunia ini dari cengkeraman maut dan menyiraminya dengan kasih yang sejati. Kasih tanpa syarat.
Ingatanku melayang kepada pengalaman penyelenggaraan suatu acara kerohanian di Gereja yang kuketahui atau kudengar dari sesama. Atau dalam suatu susunan organisasi dan kelompok kategorial di Gereja. Walaupun tidak sering, kegiatan dan aktivitas untuk Tuhan dan GerejaNya kadang tak luput dari sikap-sikap ingin menang sendiri, memaksakan kehendak, kesombongan rohani, gerutu dan gosip kepada sesama umat beriman. Bahkan sampai pada “perebutan” posisi dan jabatan tertentu yang dianggap jabatan kehormatan. Hatiku hanya mampu bertanya dalam keprihatinan, di manakah Yesus yang sedang kita semua layani ? Apakah kita sedang benar benar melayani kebutuhanNya ataukah kita sedang sibuk melayani kebutuhan-kebutuhan kita sendiri untuk tampil dan dihormati? Ke manakah teladan agungNya akan kasih tanpa pamrih dan kerendahan hati menguap dalam hiruk pikuk ego dan kesombongan manusiawi yang tidak dikendalikan?
Aku pun teringat akan anak-anak dan suami seorang teman yang protes karena sang ibu (dan sekaligus istri) sangat aktif di kegiatan Gereja sehingga mereka kadang merasa ditelantarkan. Bagaimanapun juga, melayani keluarga sesungguhnya adalah melayani Tuhan sendiri, sehingga selayaknya tugas dan perhatian untuk keluarga diprioritaskan oleh seorang ibu rumah tangga, sebelum banyak terjun ke pelayanan di Gereja. Memang hal ini sungguh memerlukan sikap batin yang terus menerus terarah kepada suara Tuhan. Supaya aku mampu memutuskan yang terbaik dan memprioritaskan apa yang menjadi tugas panggilanku yang terutama dari Tuhan. Keluarga adalah tugas dan ladang pelayanan yang pertama dan utama.
Demikianlah pilar terpenting pelayanan yang justru amat mudah terlupakan, ketika aku telah terbuai oleh rasa puas diri dan perasaan telah berbuat banyak bagi GerejaNya. Aku perlu sesekali berhenti sejenak dan bertanya, apakah aku telah cukup merenungkan apa yang sebenarnya Dia harapkan dan Dia butuhkan dari dan bagiku? Apakah aku sudah sungguh-sungguh mengenal Yesus dan semua aspirasiNya, melaksanakan kehendakNya dan mengesampingkan pertimbangan-pertimbanganku sendiri demi mengutamakan Dia, sehingga seluruh hidupku sudah menceritakan tentang kasihNya?
Pertimbangan dan keputusan manusiawi sangat rawan terhadap keadaan emosi yang dinamis di dalam peristiwa-peristiwa kehidupan. Misalnya kebiasaan menghakimi dan memberi label pada sesama, iri hati dan kedengkian yang sesungguhnya berakar dari kesombongan, atau penilaian-penilaian sempit dan sepihak lainnya, yang dipengaruhi dinamika relasi dengan sesama dan latar belakang pengalaman kehidupan.Tetapi hidup dan bekerja untuk Tuhan adalah hidup oleh dan karena kasih. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh (Galatia 5 : 25). Dan buah-buah Roh Kudus itu sangat jelas, pemeriksaan diri dan pemeriksaan motivasiku dalam melayani Dia dan sesama harus selalu diletakkan dalam terang buah-buah kekudusanNya itu. Aku akan segera tahu apakah aku masih berada di dalamNya atau sudah di luar dan hanya menuruti pertimbanganku sendiri, berdasarkan ini: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu (Galatia 5 : 22-23). Dan ketika buah-buah itu ada padaku, aku harus memastikan bahwa semua itu bukan hasil usahaku, dan hanya akan terus mampu untuk menjadi sikap dasarku, bila aku melibatkan Dia, Sang Putera, yang telah diutus Bapa untuk selalu bersama kita, dan memimpin kita dengan seluruh hikmatNya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus AnakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita (1 Yohanes 4 : 10).
Masih pula segar dalam ingatanku sebuah kisah seorang aktivis Gereja yang menemukan kekosongan dan perasaan jauh dari Tuhan. Karena begitu sibuk dalam pelayanan, kita sering menjadi lupa atau tak punya waktu lagi untuk diluangkan menjadi saat-saat pribadi dan intim buat bersama-sama dengan Tuhan dalam doa dan keheningan yang dipersembahkan khusus untukNya. Justru itulah sumber kekuatan yang sejati yang akan menggerakkan semua sepak terjang kita sesuai dengan kehendakNya. Waktu-waktu khusus, teratur, dan spesial, yang kusediakan bersama Tuhan dan untuk Tuhan, selayaknya menjadi kekuatan utama pelayananku. Bagaikan seorang sahabat yang kita ingin selalu berkontak dan sering-sering berhubungan karena kita sayang dan rindu, demikian juga frekuensi untuk selalu berusaha berjumpa dan berelasi dengan Dia melalui doa dan merenungkan FirmanNya adalah cermin seberapa penting dan berhargaNya Dia bagi seluruh gerak hidupku
Aku meletakkan sepatu kesayanganku yang tinggal sebelah itu di tempat di mana aku masih bisa melihatnya setiap saat. Hmm..untung masih ada gunanya juga ia, yaitu membantuku berefleksi. Aku memandanginya sambil membisikkan doa di dalam hatiku, “Yesus, aku tidak berarti apa-apa tanpa Engkau. Berjalanlah selalu di sisiku, jadi pemandu perjalanan budi pekertiku, penopang semua keputusan-keputusanku. Hanya bersama Engkau dan oleh karena Engkau, hidup dan pelayananku akan punya arti dan dapat berguna bagi kemuliaan KerajaanMu di dunia. Amin”. (uti)
Source. katolisitas.org
0 komentar:
Posting Komentar