Blogger templates


Chat Online disini :)

Jumat

Ujian Kasih

Hari ini teman saya bercerita ia sedang mengamati dengan seksama apakah anak lelakinya yang berusia 5 tahun mengalami demam setelah mendapat imunisasi campak seminggu yang lalu. Dokter anaknya mengatakan bahwa respon tubuh anak terhadap vaksin campak biasanya akan berupa suhu badan yang meningkat dan timbul tanda-tanda merah di badan, yang akan hilang setelah tubuhnya berhasil melawan virus yang telah dilemahkan dalam bentuk vaksinasi itu. Namun bila tubuh si anak lebih kuat daripada vaksin virus campak, ia akan baik-baik saja dan tidak akan merasakan apapun. Umumnya campak akan menjangkiti manusia sekali dalam hidup pada saat masih anak-anak.
Saya membayangkan bahwa seorang manusia pada awal-awal hadirnya dalam dunia akan berkenalan dengan banyak sekali hal baru. Termasuk mengalami terjangkit penyakit untuk pertama kalinya, sembari beranjak menuju manusia dewasa yang perlahan namun pasti semakin kuat pula daya tahan tubuhnya. Demikian juga semakin kaya pula pengetahuan dan ketrampilannya.
Seringkali Tuhan membiarkan saya mengenal berbagai perlakuan yang buruk dari sesama, atau mengalami peristiwa yang tidak enak karena sifat sesama manusia yang kurang baik dan tidak mengenakkan bagi saya. Sesama itu juga bisa termasuk anggota keluarga besar saya sendiri.
Kebanyakan yang terjadi mungkin sebenarnya bukan maksudnya untuk menjahati / melukai tetapi karena cara pandang, latar belakang, situasi kehidupan, pengalaman hidup, dan kepribadian yang berbeda. Mengenali adanya kemungkinan itu sangat penting supaya kita tidak terlalu cepat menghakimi seseorang yang kita anggap berbuat kurang baik kepada kita atau bertingkah laku tidak menyenangkan.
Tuhan tidak selalu mempertemukan saya dengan situasi yang enak dan mudah serta dengan orang-orang yang baik atau orang yang sepaham dan sepikiran dengan saya. Tetapi pengalaman-pengalaman yang buruk dan perlakuan sesama yang tidak mengenakkan membentuk ketahanan iman saya kepada Tuhan. Menguji kemurnian kasih saya kepada Tuhan dan sesama. Ujian itu bagaikan vaksin campak yang disuntikkan sebagai imunisasi ke tubuh anak teman saya.
Karena ego dan kesombongan manusiawi, daya tahan iman dan kasih saya seringkali lebih lemah dari ujian itu dan hasilnya hati saya menjadi panas. Saya mengalami demam hati. Apa yang saya lakukan dalam keadaan hati panas adalah membalas perlakuan yang buruk dari sesama dengan keburukan juga atau memutuskan sebuah hubungan yang sebelumnya telah terjalin. Walau tidak selalu jelas berupa putusnya sebuah hubungan, setidaknya saya mungkin mendiamkan sesama itu, atau dalam hati tidak ingin berhubungan dan sering bertemu lagi dengannya. Hasilnya mudah ditebak. Saya dan sesama sama-sama terluka dan sama-sama merasa sakit. Dan pasti itu bukan situasi yang Bapa inginkan terjadi di antara anak-anakNya, apalagi di antara anak-anak yang sama-sama mengakui, mencintai, dan mengikutiNya.
Ceritanya akan lain bila saya selalu berusaha untuk bersikap rendah hati, sabar, introspeksi diri, dan mencoba untuk mengerti. Dengan berpikir sedemikian, sesungguhnya saya melindungi diri saya sendiri dan orang lain terhadap luka-luka yang tidak perlu. Saya menyiapkan diri saya untuk mengampuni. Itulah pertahanan jiwa yang sesungguhnya. Seperti sistem kekebalan tubuh yang terbentuk ketika tubuh sudah tidak lagi mempan terhadap ‘virus’ perbedaan nilai, kekurangan kasih, atau kebencian dari luar diri kita. Mother Teresa menggambarkannya sedemikian, “If I love until it hurts, then there will be no more hurts, only more love.”
Itu juga situasinya kalau kita sudah berusaha konsisten bersikap baik dan tulus namun tetap saja mendapat perlakuan yang tidak enak atau tidak adil. Kita sudah melakukan apa yang kita ingin sesama lakukan kepada kita, tapi yang terjadi tidak timbal balik seperti yang kita harapkan.
Jika saya ingat kepada Kristus yang mendoakan para penyalibNya di saat Dia sedang sangat menderita di atas kayu salib itu, saya menyadari bahwa Tuhan melihat kita dengan kacamata belaskasihan dan penuh pengertian. Demikian juga terbayang oleh saya pandangan mata Bapa yang rindu dalam kisah ‘Anak Yang Hilang’ ketika anaknya itu baru tampak di kejauhan untuk pulang. Jika kita berhasil sampai pada belaskasihan seperti yang Tuhan sendiri ajarkan dan lakukan, maka kita bisa mencintai dan mengampuni dengan bebas, lepas dari apakah orang lain itu membalas kasih dan pengampunan kita atau tidak. Kebahagiaan kita tidak lagi tergantung kepada reaksi sesama. Kita bebas dari ekspektasi apapun, dan itu adalah pengalaman yang memerdekakan. Itulah kasih agape, yang bersumber dari Tuhan. Kasih yang menyembuhkan segala jenis kepahitan dan luka.
Itulah yang sebenarnya Tuhan ingin anak-anakNya mengalaminya dan menjadi sembuh sepenuhnya. Jika kita membaca dalam Yohanes 15 : 9 – 17, Yesus menegaskan supaya kita saling mengasihi. Mengapa Yesus ingin kita saling mengasihi? Walaupun kadang terasa sulit dan tidak adil bagi kita? TujuanNya semata adalah demi kebahagiaan kita sendiri. Tuhan selalu menginginkan kebahagiaan jiwa kita. Hal-hal inilah yang Yesus katakan yang menggambarkan apa yang sebenarnya Dia inginkan dialami oleh anak-anakNya melalui perbuatan saling mengasihi, betapapun sukarnya. Yang pertama yaitu supaya kita bisa terus ada dan tinggal dalam kasihNya (ayat 9). Kedua, supaya sukacita kita menjadi penuh (ayat 11), dan selanjutnya yang ketiga, supaya kita selalu ada bersama-sama Dia dan BapaNya (ayat 15), dan yang terakhir, supaya kita menghasilkan buah dan buah itu tetap (ayat 16) sehingga akhirnya apapun yang kita minta dari Tuhan akan diberikanNya karena apa yang kita minta itu akan sesuai dengan apa yang Dia inginkan juga, sebab kita telah menjadi sangat dekat padaNya .
Seperti halnya vaksin diberikan supaya tubuh anak menjadi kuat, demikianlah ujian kasih melalui perjumpaan dengan sesama yang saya anggap mengganggu dan berseberangan sebenarnya adalah bagian dari rencana Tuhan untuk pertumbuhan saya sendiri. Supaya saya utuh dan mengalami kebahagiaan yang sejati, yang hanya dapat dialami bersama Dia dan di dalam Dia. Sebuah persiapan menuju hidup kekal bersamaNya kelak.
Dalam menilai sesama, saya sering lupa bahwa saya sendiri tidak sempurna dan sering menyakiti hati sesama juga, walau tidak selalu saya sadari. Itulah sebabnya di saat kita berjumpa dengan sesama yang menjengkelkan atau tidak tahu berterimakasih, atau membalas kebaikan kita dengan kejahatan, adalah saat dimana Tuhan ingin kita sendiri belajar melihat balok di mata kita sendiri sebelum melihat selumbar di mata sesama kita dan menjadi marah atau kecewa. Apalagi kita tidak selalu memahami keseluruhan kisah dan latar belakang mengapa seseorang bisa menjadi begitu sulit, kasar, sombong, atau keras kepala. Kesadaran itu membuat saya seringkali justru berterimakasih kepada sesama yang sulit, yang membuat saya menyadari bahwa saya sendiri ini juga masih terus perlu bebenah dan memperbaiki kekurangan saya di hadapan Tuhan. Hanya saja saya perlu terus bergantung kepada Tuhan dan menyerap teladan kasihNya di jalan salibNya sehingga saya mampu memenangkan latihan iman itu dan ‘lulus ujian’.
Di dalam Lukas 6 : 32, Tuhan juga mengingatkan “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.“ Tuhan ingin saya menjadi manusia yang berbeda, unggul dalam cinta dan kerendahan hati. Memang ini sebuah perjuangan yang tidak ringan dan merupakan suatu seni tersendiri. Betapa menyenangkan mengikuti Yesus, yang penuh dengan citarasa seni dan kreativitas dalam mengasihi…! Ia menghendaki supaya kita menjadi sempurna, seperti Bapa di Surga sempurna adanya. Itulah cita-cita Yesus bagi kita semua, cita-cita yang amat indah bagi setiap kita, mahakarya ciptaanNya.
Tapi semua itu tidak mudah. Ya, tentu saja. Untuk hal-hal yang berharga, tidak ada yang mudah, perlu perjuangan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin. Kalau Yesus meminta saya melakukan sesuatu, itu pasti sesuatu yang bisa saya lakukan. Tuhan tidak akan meminta sesuatu yang tidak bisa kita kerjakan, termasuk saat Yesus meminta saya mengampuni tujuh kali tujuh kali dalam sehari (Lukas 17: 4). Saya perlu terus berdialog dengan Tuhan melalui firmanNya dan bertekun dalam doa, supaya saya menemukan kekuatan dan damai untuk terus berjalan bersama Yesus. Berpegang terus pada kasihNya dan belajar dari hatiNya yang lemah lembut, penuh belaskasihan, rendah hati, dan semangat pengampunan. Karena dengan kekuatan kita sendiri, kita memang belum mampu. Bersama Santo Paulus dalam Filipi 4: 13 yang mengatakan: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku”, saya dapat berkata, ya, Yesus ada di sini, di hati saya. Selama Yesus di hati saya, saya pasti bisa. (uti)
source. katolisitas.org

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More